Minggu, 08 Juli 2012




Tips Agar Tata Tertib Sekolah tidak Menjadi ‘Hiasan’ Dinding Kelas

Oleh: Isnaini Hasan Asy’ari

Telah banyak berita tentang guru yang menempeleng peserta didik, guru menghajar peserta didik, guru memukul peserta didik. Kita tahu bersama bahwa guru melakukan hal itu tentunya ada ‘sabab musababnya’.
Ingat, ada aksi pasti ada reaksi. Namun kadang kita sebagai guru menghadapi sebuah dilema yang tak ada habisnya. Disaat kenakalan pelajar semakin mengiris hati, adanya freesex, drug, tawuran pelajar, hilangnya sopan santun terhadap orang tua dan guru, rasa nasionalisme pelajar yang mulai luntur dan masih banyak lagi contoh degradasi moral remaja saat ini, kita sebagai guru kadang merasakan sebuah keraguan dalam penanganan.  Jangan-jangan kena HAM (kalo dapat hamburger, ya mau lah!), jangan-jangan  malah disalahkan pimpinan, jangan-jangan kena mutasi, jangan-jangan turun pangkat, jangan-jangan wali murid “nggak trima” dan masih banyak jangan-jangan yang lainnya. Akhir kata timbulah gerakan acuh tak acuh alias HANAP, yang penting HAdir di sekolah, Ngajar, Absen, Pulang dech, nggak peduli peserta didiknya nakal lah, nggak sopan lah, bolosan, tawuran…. EGP (Emang Gue Pikiran)!, dalam bahasa jawanya “kono-kono………!, lha wong anak’e uwong ae, sekolah karepmu ra sekolah yo karepmu, seng penting aku nyambut gawe!”, yach sampek kapan nech…………? Padahal negri ini butuh banget GENERASI PEMBAHARU.
Kadang sebagai pengajar bingung menghadapi anak-anak yang ‘butuh perhatian’ ini terutama dalam memberikan sanksi dari pelanggarannya di sekolah. Bila diperhatikan, beberapa peserta didik kita sekarang ini apabila didekati, dianya ‘nglamak’ tapi kalo nggak diperhatikan malah nggak karu-karuan. Perlu berbagai analisa untuk memutuskan sebuah sanksi yang harus dijatuhkan kepadanya. Saat ini sanksi fisik mulai ‘dihilangkan’, dengan pertimbangan rasa kasihan dan kemanusiaan. Sepertinya kerja sama antara guru, masyarakat dan terutama orang tua wali perlu tambah dieratkan lagi. Komunikasi problematika remaja perlu uluran tangan masyarakat dan orang tua. Agar hal-hal negatif yang muncul di kalangan remaja dapat dideteksi sedini mungkin.
Kembali kepada masalah sanksi yang harus dijatuhkan kepada peserta didik di sekolah, pihak sekolah terutama yang membidangi kesiswaan  harus jeli membaca pola pikir masyarakat dan anak didik untuk dijadikan sebagai salah satu referensi guna menyusun berbagai alternatif sanksi yang harus dijatuhkan. Tata tertib sekolah yang satu tidak dapat dengan serta merta digunakan untuk mengatur sekolah yang lain, pastinya terdapat pola penanganan yang berbeda. Bagaimana cara untuk meminimalisir kesalah pahaman pemberian sanksi peserta didik antara masyarakat dan pihak sekolah, berikut beberapa tips yang juga merupakan pengalaman penulis guna share dengan ‘panjenengan’ semua.
1.         Sebelum tahun ajaran dimulai, tim penyusun tatib sekolah menyusun draf tatip dengan melibatkan kepala sekolah, guru dan komite. Jangan lupa pembubuhan tanda tangan (pengesahan) yang berkepentingan ya!
2.         Gunakan model draf tatib sekolah dengan sistem sekor pelanggaran, jadi kita gampang mengkonversi sekor tersebut untuk menentukan kategori pada rapot siswa (kelakuan, kepribadian dan kerajinan), jadi tidak ada lagi kegiatan ‘ngakor’ (ngarang sekor), masak sering dijumpai rapot dengan kategori kelakuan, kepribadian, kerajianan ‘B’ semua, lhah dari mane asalnye pakdhe…….! Piss …. nech aku kasih dach contoh tatibnya disini.
3.         Draf yang sudah ditandatangani, dikaji bersama dengan pengurus OSIS, Pengurus Kelas atau Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK), sekaligus ditandatangani juga oleh mereka.
4.         Hasil koordinasi dari langkah 1 dan 2 dianalisis kemudian disahkan sebagai tata tertib sekolah. Kemudian digandakan sebanyak peserta didik maupun kepada peserta didik baru tahun pelajaran baru yang akan datang.
5.         Pada saat kegiatan MOS bagi peserta didik baru, gunakan untuk sosialisasi tatip sekolah, sekaligus pembagian buku tatip pada siswa baru. Pada kegiatan ini juga ceritakan tentang pelanggaran peserta didik  terdahulu lengkap dengan berkas penanganannya dan hasil penanganannya. Tapi ingat jangan sampai sebut ‘merk’ anaknya, kasihan dunk!
6.         Sudah menjadi kebiasaan di sekolah, orang tua wali peserta didik baru dalam waktu dekat pasti dikumpulkan untuk membahas ini dan itu, nah, pada saat inilah disisipkan sosialisasi tatip sekolah dan pemberian surat pernyataan pendukungan dan persetujuan atas tatip sekolah kepada para wali. Agak ada unsur pemaksaan sich, tapi ini demi masa depan dan kebaikan anak-anak mereka juga. Terkadang untuk menjadi pembiasaan sikap disiplin, awalnya perlu sedikit pemaksaan. Kalau perlu tunjukkan berkas berkas pelanggaran siswa terdahulu serta penangannya kepada orang tua peserta didik baru, guna meyakinkan kepada mereka bahwa tatip sekolah yang disusun tidak hanya sebagai ‘hiasan dinding kelas’ namun pelaksanaannya riil di lapangan. Bukan untuk menakut-nakuti sich, namun diharapkan orang tua wali juga ikut berperan aktif di lingkungan keluarga terutama pengawasan peserta didik di luar jam sekolah.
7.         Tahap penyusunan dan sosialisasi, sepertinya telah selesai, tinggal pelaksanaannya. Ini yang kadang agak berat. Seperti sebuah barang, gampang belinya tapi untuk ngrawat, bawaannya selalu males, he…he…!. Terlebih dahulu disiapkan berkas-berkas pelaksanaan tatib seperti: susunan tatib sekolah untuk dibagikan di kelas, guru, karyawan, satpam dan pihak terkait, berkas rekap pelanggaran beserta berita acara pelanggaran siswa. Libatkan anggota ‘Students Intern Organization’ atau lazim dengan istilah pengurus OSIS dalam pembagian ini.
8.         Berikutnya, untuk mempermudah pelaksanaan tatib, libatkan semua guru pengajar dengan cara membagikan buku berita acara pelanggaran siswa pada mereka. Jadi Setiap kali melaksanakan KBM guru juga mencatat setiap pelanggaran siswa di kelasnya apabila ada. Sehingga jam pelajaran usai, pihak kesiswaan dapat merekap pelanggaran yang terjadi serta dapat berkoordinasi untuk penanganan lebih lanjut.
9.         Setiap akhir bulan, skor pelanggaran siswa yang dianggap rawan segera dibuatkan surat pemberitahuan kepada wali murid, dan wali kelas sehingga hal ini dapat dijadikan warning dan control bersama.
10.      Pelanggaran yang berpotensi berat, dibuatkan berita acara dan surat pernyataan bermatrei 3000 yang ditandatangani pelanggar dan diketahui orang tua.
Dari uraian diatas memang terkesan ribet, dan apabila diterapkan, jangan kaget kalau ada beberapa pihak yang meragukan, menggunjingkan dan bahkan mengesankan lebay dan mengada-ada. Tenang Brow! Itu hal biasa dalam organisasi. Anggaplah itu bumbu penyedap yang mampu menjadikan masakan jadi luar biasa.
Ingat bahwa berkas-berkas pelaksanaan tata tertib yang ‘panjenengan’ lengkapi tersebut akan ‘berbicara’ sendiri apabila terjadi permasalahan tentang siswa di sekolah. Dan pada akhirnya sekolah tidak dapat  seenaknya ‘disalah-salahkan’, bahkan pihak-pihak luar yang mau nuntutpun akan berpikir panjang, karena pihak sekolah memiliki data lengkap dan memiliki kredibilitas.
Saya pribadi menyadari penuh bahwa penanganan siswa ini penuh dengan seni dan intrik serta tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan komitmen dan kesadaran bersama untuk menjadikan lebih baik instansi yang kita singgahi. Bagaikan ‘nguyahi segoro’ apabila tatip yang telah diproses dengan baik ‘digembosi’ sendiri oleh oknum dalam instansi itu sendiri. Demikian yang dapat saya uraikan, disadarai penuh bahwa tulisan diatas tentu jauh dari kesempurnaan dan banyak sekali dijumpai kelemahan dan kekurangan, maka sharing yang membangun sangat saya harapkan dibelakang kelak. Terima kasih telah menjadikan tulisan saya ini bagian dari waktu anda membaca.

Di bawah ini akan saya uraikan juga beberapa sanksi siswa yang membikin kita tidak sakit hati dan siswa yang dihukum cenderung menyadari kesalahannya.
1.    Penanganan Siswa Terlambat masuk.
Di kebanyakan sekolah, yang namanya siswa terlambat itu masih sering dijumpai. Mulai yang beralasan kesiangan, ban bocor, nunggu jemputan, nunggu angkot dsb. Sanksi demi sanksi pun telah dilayangkan, mulai suruh push up, jalan jongkok, bernyani, bersih-bersih, dll. Dan kadang nggak juga nyembuhkan penyakitnya. Cobalah cara khusus memberikan sanksi anak macam gini.
a)     Awalnya kita mintai keterangan dan mecatat pelanggarannya, siswa yang terlambat kita kumpulkan di tengah lapangan.
b)     Satu-persatu suruh siswa berwudhu, kemudian bagikan bacaan Yaasin atau Alqur’an (bagi yang Muslim), atau kitab pegangan bagi yang beragama  lain.
c)      Intruksikan membaca dengan jelas dan tartil di tengah lapangan sampai akhir ayat yang ditentukan.
Sanksi diatas itung-itung membiasakan anak ‘ngaji’ dan ‘terapi hati’ agar mereka mudah diarahkan. Bisa saja dengan memberikan sanksi melakukan Sholat Hajat, atau Sholat Dhuha di tengah lapangan. Ingat bahwa sekarang banyak ditemui anak sudah usia SMA/SMK yang belum bisa ‘mbaca’ Al-Qur’an. Kita sadari bersama inilah salah satu faktor siswa sekarang cenderung melakukan hal-hal negatif, karena hatinya ‘kering’ dengan akidah. Sanksi diatas terkesan ‘entheng’ (bagi yang bisa ‘ngaji’ sich!, he…he..), tapi bagi yang belum bisa ‘ngaji’ maka teramat berat.
2.    Penanganan Siswa berambut panjang atau berkuku panjang.
Untuk penanganan kasus ini, sedapat mungkin jangan sampai pihak guru yang menangani (maksudnya, yang memotong kuku atau memotong rambutnya). Libatkan siswa-siswa yang bermasalah tersebut, sehingga kita dari pihak guru tidak dibenci siswa, namun penanganan kasus selesai. Hal ini dilakukan guna menyiasati keterbatasan tenaga guru yang menangani juga. Caranya adalah sebagai berikut:
a)    Siapkan pemotong kuku dan gunting (jangan sampe satu, tapi empat atau lima buah)
b)    Masuk kelas dan untuk kasus kuku panjang, bagikan pemotong kuku satu persatu tiap deret bangku (biasanya tiap kelas terdapat empat deret bangku). Anda tinggal ngomong “Hayo anak-anak, yang merasa kukunya panjang, monggo tinggal pilih, dipotong guru ato potong sendiri!”
c)    Sambil nunggu ‘adhicoro nugel kuku’, kita keliling mencari siswa yang berambut panjang (tentunya yang laki-laki aja….). Bagi yang gak ‘lolos sensor’ , kita suruh keluar dari kelas.
d)    Jika PBP (Pria Berambut Panjang) sudah berkumpul di luar kelas, kita bagikan semua gunting yang kita bawa, lalu intruksikan kepada mereka untuk saling potong rambut sesuai dengan aturan sekolah yang berlaku.
e)    Beberapa saat, tanpa menyucurkan keringat, kita tinggal cek hasil pekerjaan anak-anak, mulai kuku sampai rambut, bagi yang belum sesuai aturan , tinggal mengistruksikan penyesuaiannya saja. BERET BOT eh BERES BOS!
Untuk lebih meringankan beban pihak kesiswaan, bisa saja mengadakan cabang lomba ‘Potong rambut siswa’ pada class meeting. Beberapa siswa pemenang ‘pemotong rambut’  dapat kita ajak untuk menjalankan ‘operasi’ . Pasti para korban nggak sakit hati, soalnya hasil potongannya juga memuaskan. Kita sebagai guru cuman laksanakan tugas control lapangan saja.
3.    Penanganan Siswa Tidak mengerjakan tugas kelas.


Misalnya bagi siswa yang tidak mengerjakan PR, hindari hukuman pengusiran dari kelas, karena beberapa kasus pernah dijumpai bahwa siswa yang ‘terusir’ dari kelas bawaannya bukan susah atau malu, tapi tambah seneng, masalahnya mereka dengan bebas melalang buana di lingkungan sekolah. Kadang mereka bergabung ke kelas lain (anehnya, guru di kelas tersebut gak tau kalo ada ‘penyusup’ dikelasnya), kadang pula ‘siswa terusir’ mampu ‘bergadang’ di warung sekolah dengan berdalih selesai mengikuti ulangan harian atau gurunya kosong, dsb. Gunakan metode ‘Outdoor Studying’  dengan langkah sebagai berikut:
a)    Panggil siswa yang kedapatan tidak mengerjakan tugas
b)    Perintahkan membawa alat tulis dan buku pelajarannya sekalian dengan tempat duduknya
c)    Perintahkan siswa untuk ‘tutup pintu dari luar’ alias keluar kelas.
d)    Perintahkan siswa tersebut untuk mencatat semua bahan ajar yang diterangkan di papan tulis melalui cendela kelas.
e)    ±15 menit sebelum pelajaran usai, guru memanggil siswa pelanggar dan menanyakan kembali materi apa yang telah diterangkan kalau perlu siswa tersebut menerangkan di depan teman-temannya.
Sanksi diatas memberi efek pada siswa pelanggar untuk tidak meninggalkan materi pelajaran yang menjadi haknya. Namun membawa dampak positif yang signifikan. Pernah dijumpai, ternyata siswa yang terkena sanksi ‘outdoor studying’ justru mampu menyerap materi lebih baik dari pada teman-temannya di dalam kelas. Disamping punya beban mental, mindset siswa tersebut sudah terpaku bahwa diakhir pelajaran nanti dia punya tanggung jawab menerangkan kembali materi pelajaran kepada teman-temannya. Sehingga siswa tersebut cenderung mengikuti materi pelajaran lebih seksama dari pada teman-temannya di dalam kelas.
4.    Penanganan Siswa yang tidak mengikuti kegiatan sekolah


Banyak kegiatan sekolah yang diprogramkan, misalnya: Upacara bendera, peringatan hari besar nasional, peringatan hari besar Islam, dll, namun dalam prakteknya masih dijumpai siswa yang tidak mengikuti kegiatan tersebut dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terkadang tokohnya ya hanya anak itu-itu saja. Pusing dach….. ! Ada referensi sanksi yang dapat diterapkan, salah satunya adalah ‘penghijauan berkesinambungan’ yaitu sebagai berikut:
a)    Catat anak-anak yang tidak mengikuti kegiatan.
b)    Pada hari berikutnya, kita panggil secara khusus
c)    Interuksikan membawa tanaman yang telah ditaruh dalam media tanam yang telah dilengkapi identitas siswa pelanggar lengkap dengan kelasnya.
d)    Sanksi anak tersebut adalah merawat tanamannya masing-masing sampai layak umur untuk ditanam di tanah.
e)    Taruh tanaman-tanaman tersebut di depan kelasnya kemudian libatkan anggota OSIS bidang lingkungan hidup untuk memantau perkembangan tanaman tersebut dan melaporkan secara berkala pada kesiswaan.
f)    Apabila tanaman itu mati atau tidak normal pertumbuhannya, maka kita tinggal cek pemilik pada pot kemudian ditegaskan pertanggungjawaban pada pemiliknya.
Sanksi diatas dapat dikatakan sebagai sanksi terlama karena pemantauannya secara  berkesinambungan. Namun banyak keuntungan yang didapat baik dipihak sekolah maupun pihak pelaku yaitu:
-      Dipihak sekolah: mempunyai banyak koleksi tanaman ‘hidup’ lengkap dengan tenaga ‘perawatnya’, udara di sekolah jadi segar karena banyaknya tanaman, terciptanya program go green atau save our earth di sekolah.
-      Dipihak siswa: menumbuhkan rasa tanggung jawab dan rasa kepedulian terhadap lingkungan sekolah,  kelak apabila telah lulus, siswa masih punya ‘kenang-kenangan’ tanaman di sekolah. Apalagi kalau tanaman yang ditanam adalah tanaman buah, pasti kalau buahnya lebat, manfaatnya akan lama sekali bagi lingkungan sekolah dan yang menanam kedapatan amal kebaikannya, amin.
Kapan sanksi itu dicabut? Apabila tanaman telah dikategorikan siap ‘tumbuh sendiri’ tanpa perawatan intensif. Namun Identitas siapa penanamnya tetap tertulis pada tanamannya, misalnya ditulis: ‘Kenang-kenangan dari Satriyo Legowo kelas 11 tahun 2012’.

Uraian diatas hanyalah sekelumit referensi sanksi yang tidak membuat sakit hati. Saya yakin dan percaya anda lebih mampu mendaya kreasikan dan mendaya ciptakan berbagai sanksi yang membangun lainnya di sekolah anda. Dengan prinsip tujuan membangun karakter generasi pembaharu bangsa yang baik demi kelangsungan hidup Ibu Pertiwi di masa yang akan datang. Merdeka….!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar