Oleh:
Isnaini Hasan Asy’ari
Telah banyak
berita tentang guru yang menempeleng peserta didik, guru menghajar peserta
didik, guru memukul peserta didik. Kita tahu bersama bahwa guru melakukan hal
itu tentunya ada ‘sabab musababnya’.
Ingat, ada aksi pasti ada reaksi. Namun kadang kita sebagai guru menghadapi sebuah dilema yang tak ada habisnya. Disaat kenakalan pelajar semakin mengiris hati, adanya freesex, drug, tawuran pelajar, hilangnya sopan santun terhadap orang tua dan guru, rasa nasionalisme pelajar yang mulai luntur dan masih banyak lagi contoh degradasi moral remaja saat ini, kita sebagai guru kadang merasakan sebuah keraguan dalam penanganan. Jangan-jangan kena HAM (kalo dapat hamburger, ya mau lah!), jangan-jangan malah disalahkan pimpinan, jangan-jangan kena mutasi, jangan-jangan turun pangkat, jangan-jangan wali murid “nggak trima” dan masih banyak jangan-jangan yang lainnya. Akhir kata timbulah gerakan acuh tak acuh alias HANAP, yang penting HAdir di sekolah, Ngajar, Absen, Pulang dech, nggak peduli peserta didiknya nakal lah, nggak sopan lah, bolosan, tawuran…. EGP (Emang Gue Pikiran)!, dalam bahasa jawanya “kono-kono………!, lha wong anak’e uwong ae, sekolah karepmu ra sekolah yo karepmu, seng penting aku nyambut gawe!”, yach sampek kapan nech…………? Padahal negri ini butuh banget GENERASI PEMBAHARU.
Ingat, ada aksi pasti ada reaksi. Namun kadang kita sebagai guru menghadapi sebuah dilema yang tak ada habisnya. Disaat kenakalan pelajar semakin mengiris hati, adanya freesex, drug, tawuran pelajar, hilangnya sopan santun terhadap orang tua dan guru, rasa nasionalisme pelajar yang mulai luntur dan masih banyak lagi contoh degradasi moral remaja saat ini, kita sebagai guru kadang merasakan sebuah keraguan dalam penanganan. Jangan-jangan kena HAM (kalo dapat hamburger, ya mau lah!), jangan-jangan malah disalahkan pimpinan, jangan-jangan kena mutasi, jangan-jangan turun pangkat, jangan-jangan wali murid “nggak trima” dan masih banyak jangan-jangan yang lainnya. Akhir kata timbulah gerakan acuh tak acuh alias HANAP, yang penting HAdir di sekolah, Ngajar, Absen, Pulang dech, nggak peduli peserta didiknya nakal lah, nggak sopan lah, bolosan, tawuran…. EGP (Emang Gue Pikiran)!, dalam bahasa jawanya “kono-kono………!, lha wong anak’e uwong ae, sekolah karepmu ra sekolah yo karepmu, seng penting aku nyambut gawe!”, yach sampek kapan nech…………? Padahal negri ini butuh banget GENERASI PEMBAHARU.
Kadang sebagai
pengajar bingung menghadapi anak-anak yang ‘butuh perhatian’ ini terutama dalam
memberikan sanksi dari pelanggarannya di sekolah. Bila diperhatikan, beberapa peserta
didik kita sekarang ini apabila didekati, dianya ‘nglamak’ tapi kalo nggak
diperhatikan malah nggak karu-karuan. Perlu berbagai analisa untuk memutuskan
sebuah sanksi yang harus dijatuhkan kepadanya. Saat ini sanksi fisik mulai
‘dihilangkan’, dengan pertimbangan rasa kasihan dan kemanusiaan. Sepertinya
kerja sama antara guru, masyarakat dan terutama orang tua wali perlu tambah
dieratkan lagi. Komunikasi problematika remaja perlu uluran tangan masyarakat
dan orang tua. Agar hal-hal negatif yang muncul di kalangan remaja dapat
dideteksi sedini mungkin.
Kembali kepada
masalah sanksi yang harus dijatuhkan kepada peserta didik di sekolah, pihak sekolah
terutama yang membidangi kesiswaan harus
jeli membaca pola pikir masyarakat dan anak didik untuk dijadikan sebagai salah
satu referensi guna menyusun berbagai alternatif sanksi yang harus dijatuhkan.
Tata tertib sekolah yang satu tidak dapat dengan serta merta digunakan untuk
mengatur sekolah yang lain, pastinya terdapat pola penanganan yang berbeda.
Bagaimana cara untuk meminimalisir kesalah pahaman pemberian sanksi peserta
didik antara masyarakat dan pihak sekolah, berikut beberapa tips yang juga
merupakan pengalaman penulis guna share dengan ‘panjenengan’ semua.
1.
Sebelum tahun
ajaran dimulai, tim penyusun tatib sekolah menyusun draf tatip dengan
melibatkan kepala sekolah, guru dan komite. Jangan lupa pembubuhan tanda tangan
(pengesahan) yang berkepentingan ya!
2.
Gunakan model draf
tatib sekolah dengan sistem sekor pelanggaran, jadi kita gampang mengkonversi
sekor tersebut untuk menentukan kategori pada rapot siswa (kelakuan,
kepribadian dan kerajinan), jadi tidak ada lagi kegiatan ‘ngakor’ (ngarang
sekor), masak sering dijumpai rapot dengan kategori kelakuan, kepribadian,
kerajianan ‘B’ semua, lhah dari mane asalnye pakdhe…….! Piss …. nech aku kasih
dach contoh tatibnya disini.
3.
Draf yang sudah
ditandatangani, dikaji bersama dengan pengurus OSIS, Pengurus Kelas atau
Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK), sekaligus ditandatangani juga oleh mereka.
4.
Hasil koordinasi
dari langkah 1 dan 2 dianalisis kemudian disahkan sebagai tata tertib sekolah.
Kemudian digandakan sebanyak peserta didik maupun kepada peserta didik baru
tahun pelajaran baru yang akan datang.
5.
Pada saat
kegiatan MOS bagi peserta didik baru, gunakan untuk sosialisasi tatip sekolah,
sekaligus pembagian buku tatip pada siswa baru. Pada kegiatan ini juga
ceritakan tentang pelanggaran peserta didik
terdahulu lengkap dengan berkas penanganannya dan hasil penanganannya.
Tapi ingat jangan sampai sebut ‘merk’ anaknya, kasihan dunk!
6.
Sudah menjadi
kebiasaan di sekolah, orang tua wali peserta didik baru dalam waktu dekat pasti
dikumpulkan untuk membahas ini dan itu, nah, pada saat inilah disisipkan
sosialisasi tatip sekolah dan pemberian surat pernyataan pendukungan dan
persetujuan atas tatip sekolah kepada para wali. Agak ada unsur pemaksaan sich,
tapi ini demi masa depan dan kebaikan anak-anak mereka juga. Terkadang untuk
menjadi pembiasaan sikap disiplin, awalnya perlu sedikit pemaksaan. Kalau perlu
tunjukkan berkas berkas pelanggaran siswa terdahulu serta penangannya kepada
orang tua peserta didik baru, guna meyakinkan kepada mereka bahwa tatip sekolah
yang disusun tidak hanya sebagai ‘hiasan dinding kelas’ namun pelaksanaannya
riil di lapangan. Bukan untuk menakut-nakuti sich, namun diharapkan orang tua
wali juga ikut berperan aktif di lingkungan keluarga terutama pengawasan
peserta didik di luar jam sekolah.
7.
Tahap penyusunan
dan sosialisasi, sepertinya telah selesai, tinggal pelaksanaannya. Ini yang
kadang agak berat. Seperti sebuah barang, gampang belinya tapi untuk ngrawat,
bawaannya selalu males, he…he…!. Terlebih dahulu disiapkan berkas-berkas
pelaksanaan tatib seperti: susunan tatib sekolah untuk dibagikan di kelas,
guru, karyawan, satpam dan pihak terkait, berkas rekap pelanggaran beserta
berita acara pelanggaran siswa. Libatkan anggota ‘Students Intern Organization’
atau lazim dengan istilah pengurus OSIS dalam pembagian ini.
8.
Berikutnya, untuk
mempermudah pelaksanaan tatib, libatkan semua guru pengajar dengan cara
membagikan buku berita acara pelanggaran siswa pada mereka. Jadi Setiap kali
melaksanakan KBM guru juga mencatat setiap pelanggaran siswa di kelasnya apabila
ada. Sehingga jam pelajaran usai, pihak kesiswaan dapat merekap pelanggaran
yang terjadi serta dapat berkoordinasi untuk penanganan lebih lanjut.
9.
Setiap akhir
bulan, skor pelanggaran siswa yang dianggap rawan segera dibuatkan surat
pemberitahuan kepada wali murid, dan wali kelas sehingga hal ini dapat
dijadikan warning dan control bersama.
10.
Pelanggaran yang
berpotensi berat, dibuatkan berita acara dan surat pernyataan bermatrei 3000
yang ditandatangani pelanggar dan diketahui orang tua.
Dari uraian
diatas memang terkesan ribet, dan apabila diterapkan, jangan kaget kalau ada
beberapa pihak yang meragukan, menggunjingkan dan bahkan mengesankan lebay dan
mengada-ada. Tenang Brow! Itu hal biasa dalam organisasi. Anggaplah itu bumbu
penyedap yang mampu menjadikan masakan jadi luar biasa.
Ingat bahwa
berkas-berkas pelaksanaan tata tertib yang ‘panjenengan’ lengkapi tersebut akan
‘berbicara’ sendiri apabila terjadi permasalahan tentang siswa di sekolah. Dan
pada akhirnya sekolah tidak dapat
seenaknya ‘disalah-salahkan’, bahkan pihak-pihak luar yang mau nuntutpun
akan berpikir panjang, karena pihak sekolah memiliki data lengkap dan memiliki
kredibilitas.
Saya pribadi
menyadari penuh bahwa penanganan siswa ini penuh dengan seni dan intrik serta
tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan komitmen dan
kesadaran bersama untuk menjadikan lebih baik instansi yang kita singgahi.
Bagaikan ‘nguyahi segoro’ apabila tatip yang telah diproses dengan baik
‘digembosi’ sendiri oleh oknum dalam instansi itu sendiri. Demikian yang dapat
saya uraikan, disadarai penuh bahwa tulisan diatas tentu jauh dari kesempurnaan
dan banyak sekali dijumpai kelemahan dan kekurangan, maka sharing yang
membangun sangat saya harapkan dibelakang kelak. Terima kasih telah menjadikan tulisan
saya ini bagian dari waktu anda membaca.
Di bawah ini
akan saya uraikan juga beberapa sanksi siswa yang membikin kita tidak sakit hati
dan siswa yang dihukum cenderung menyadari kesalahannya.
1. Penanganan
Siswa Terlambat masuk.
Di kebanyakan sekolah, yang
namanya siswa terlambat itu masih sering dijumpai. Mulai yang beralasan
kesiangan, ban bocor, nunggu jemputan, nunggu angkot dsb. Sanksi demi sanksi
pun telah dilayangkan, mulai suruh push up, jalan jongkok, bernyani,
bersih-bersih, dll. Dan kadang nggak juga nyembuhkan penyakitnya. Cobalah cara
khusus memberikan sanksi anak macam gini.
a)
Awalnya kita
mintai keterangan dan mecatat pelanggarannya, siswa yang terlambat kita
kumpulkan di tengah lapangan.
b)
Satu-persatu
suruh siswa berwudhu, kemudian bagikan bacaan Yaasin atau Alqur’an (bagi yang
Muslim), atau kitab pegangan bagi yang beragama
lain.
c)
Intruksikan
membaca dengan jelas dan tartil di tengah lapangan sampai akhir ayat yang
ditentukan.
Sanksi diatas itung-itung membiasakan anak ‘ngaji’
dan ‘terapi hati’ agar mereka mudah diarahkan. Bisa saja dengan memberikan
sanksi melakukan Sholat Hajat, atau Sholat Dhuha di tengah lapangan. Ingat
bahwa sekarang banyak ditemui anak sudah usia SMA/SMK yang belum bisa ‘mbaca’
Al-Qur’an. Kita sadari bersama inilah salah satu faktor siswa sekarang
cenderung melakukan hal-hal negatif, karena hatinya ‘kering’ dengan akidah. Sanksi
diatas terkesan ‘entheng’ (bagi yang bisa ‘ngaji’ sich!, he…he..), tapi bagi
yang belum bisa ‘ngaji’ maka teramat berat.
2. Penanganan
Siswa berambut panjang atau berkuku panjang.
Untuk penanganan kasus ini,
sedapat mungkin jangan sampai pihak guru yang menangani (maksudnya, yang
memotong kuku atau memotong rambutnya). Libatkan siswa-siswa yang bermasalah
tersebut, sehingga kita dari pihak guru tidak dibenci siswa, namun penanganan
kasus selesai. Hal ini dilakukan guna menyiasati keterbatasan tenaga guru yang
menangani juga. Caranya adalah sebagai berikut:
a)
Siapkan pemotong
kuku dan gunting (jangan sampe satu, tapi empat atau lima buah)
b)
Masuk kelas dan
untuk kasus kuku panjang, bagikan pemotong kuku satu persatu tiap deret bangku
(biasanya tiap kelas terdapat empat deret bangku). Anda tinggal ngomong “Hayo
anak-anak, yang merasa kukunya panjang, monggo tinggal pilih, dipotong guru ato
potong sendiri!”
c)
Sambil nunggu
‘adhicoro nugel kuku’, kita keliling mencari siswa yang berambut panjang
(tentunya yang laki-laki aja….). Bagi yang gak ‘lolos sensor’ , kita suruh
keluar dari kelas.
d)
Jika PBP (Pria
Berambut Panjang) sudah berkumpul di luar kelas, kita bagikan semua gunting
yang kita bawa, lalu intruksikan kepada mereka untuk saling potong rambut
sesuai dengan aturan sekolah yang berlaku.
e)
Beberapa saat,
tanpa menyucurkan keringat, kita tinggal cek hasil pekerjaan anak-anak, mulai
kuku sampai rambut, bagi yang belum sesuai aturan , tinggal mengistruksikan
penyesuaiannya saja. BERET BOT eh BERES BOS!
Untuk lebih meringankan beban pihak kesiswaan, bisa
saja mengadakan cabang lomba ‘Potong rambut siswa’ pada class meeting. Beberapa
siswa pemenang ‘pemotong rambut’ dapat
kita ajak untuk menjalankan ‘operasi’ . Pasti para korban nggak sakit hati,
soalnya hasil potongannya juga memuaskan. Kita sebagai guru cuman laksanakan
tugas control lapangan saja.
3. Penanganan
Siswa Tidak mengerjakan tugas kelas.
Misalnya bagi siswa yang tidak mengerjakan PR, hindari hukuman pengusiran dari kelas, karena beberapa kasus pernah dijumpai bahwa siswa yang ‘terusir’ dari kelas bawaannya bukan susah atau malu, tapi tambah seneng, masalahnya mereka dengan bebas melalang buana di lingkungan sekolah. Kadang mereka bergabung ke kelas lain (anehnya, guru di kelas tersebut gak tau kalo ada ‘penyusup’ dikelasnya), kadang pula ‘siswa terusir’ mampu ‘bergadang’ di warung sekolah dengan berdalih selesai mengikuti ulangan harian atau gurunya kosong, dsb. Gunakan metode ‘Outdoor Studying’ dengan langkah sebagai berikut:
a)
Panggil siswa
yang kedapatan tidak mengerjakan tugas
b)
Perintahkan
membawa alat tulis dan buku pelajarannya sekalian dengan tempat duduknya
c)
Perintahkan
siswa untuk ‘tutup pintu dari luar’ alias keluar kelas.
d)
Perintahkan
siswa tersebut untuk mencatat semua bahan ajar yang diterangkan di papan tulis
melalui cendela kelas.
e)
±15 menit
sebelum pelajaran usai, guru memanggil siswa pelanggar dan menanyakan kembali
materi apa yang telah diterangkan kalau perlu siswa tersebut menerangkan di
depan teman-temannya.
Sanksi diatas memberi efek pada siswa pelanggar
untuk tidak meninggalkan materi pelajaran yang menjadi haknya. Namun membawa
dampak positif yang signifikan. Pernah dijumpai, ternyata siswa yang terkena
sanksi ‘outdoor studying’ justru
mampu menyerap materi lebih baik dari pada teman-temannya di dalam kelas.
Disamping punya beban mental, mindset
siswa tersebut sudah terpaku bahwa diakhir pelajaran nanti dia punya tanggung
jawab menerangkan kembali materi pelajaran kepada teman-temannya. Sehingga
siswa tersebut cenderung mengikuti materi pelajaran lebih seksama dari pada
teman-temannya di dalam kelas.
4. Penanganan
Siswa yang tidak mengikuti kegiatan sekolah
Banyak kegiatan sekolah yang diprogramkan, misalnya: Upacara bendera, peringatan hari besar nasional, peringatan hari besar Islam, dll, namun dalam prakteknya masih dijumpai siswa yang tidak mengikuti kegiatan tersebut dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terkadang tokohnya ya hanya anak itu-itu saja. Pusing dach….. ! Ada referensi sanksi yang dapat diterapkan, salah satunya adalah ‘penghijauan berkesinambungan’ yaitu sebagai berikut:
a)
Catat anak-anak
yang tidak mengikuti kegiatan.
b)
Pada hari
berikutnya, kita panggil secara khusus
c)
Interuksikan
membawa tanaman yang telah ditaruh dalam media tanam yang telah dilengkapi
identitas siswa pelanggar lengkap dengan kelasnya.
d)
Sanksi anak
tersebut adalah merawat tanamannya masing-masing sampai layak umur untuk
ditanam di tanah.
e)
Taruh
tanaman-tanaman tersebut di depan kelasnya kemudian libatkan anggota OSIS
bidang lingkungan hidup untuk memantau perkembangan tanaman tersebut dan
melaporkan secara berkala pada kesiswaan.
f)
Apabila tanaman
itu mati atau tidak normal pertumbuhannya, maka kita tinggal cek pemilik pada
pot kemudian ditegaskan pertanggungjawaban pada pemiliknya.
Sanksi diatas dapat dikatakan sebagai sanksi
terlama karena pemantauannya secara
berkesinambungan. Namun banyak keuntungan yang didapat baik dipihak sekolah
maupun pihak pelaku yaitu:
-
Dipihak sekolah:
mempunyai banyak koleksi tanaman ‘hidup’ lengkap dengan tenaga ‘perawatnya’,
udara di sekolah jadi segar karena banyaknya tanaman, terciptanya program go green atau save our earth di sekolah.
-
Dipihak siswa: menumbuhkan
rasa tanggung jawab dan rasa kepedulian terhadap lingkungan sekolah, kelak apabila telah lulus, siswa masih punya
‘kenang-kenangan’ tanaman di sekolah. Apalagi kalau tanaman yang ditanam adalah
tanaman buah, pasti kalau buahnya lebat, manfaatnya akan lama sekali bagi
lingkungan sekolah dan yang menanam kedapatan amal kebaikannya, amin.
Kapan sanksi itu dicabut?
Apabila tanaman telah dikategorikan siap ‘tumbuh sendiri’ tanpa perawatan
intensif. Namun Identitas siapa penanamnya tetap tertulis pada tanamannya,
misalnya ditulis: ‘Kenang-kenangan dari Satriyo Legowo kelas 11 tahun 2012’.
Uraian diatas hanyalah sekelumit referensi sanksi
yang tidak membuat sakit hati. Saya yakin dan percaya anda lebih mampu mendaya
kreasikan dan mendaya ciptakan berbagai sanksi yang membangun lainnya di
sekolah anda. Dengan prinsip tujuan membangun karakter generasi pembaharu
bangsa yang baik demi kelangsungan hidup Ibu Pertiwi di masa yang akan datang.
Merdeka….!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar